Senin, 04 November 2013


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kemajuan yang siginifikan ketika kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang investasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) setelah pemerintah menerbitkan peraturan yang membebaskan pajak perseroan untuk masa dua tahun (Undang-undang No 11 Tahun 1970).

Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967, Undang-undang No 11 tahun 1970 dan Undang-undang No 6 Tahun 1968 Undang-undang No 12 Tahun 1970 memberi kemudahan bagi pelaksanaan penanaman modal (investasi). Sejak berlakunya Undang-undang PMA tahun 1967, aliran modal asing setiap tahun menunjukkan perkembangan dan peningkatan, baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif, karena letak wilayahnya yang strategis dan berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura membuat Batam menjadi tempat yang efisien untuk penanaman investasi. Hal ini ditunjang dengan peraturan tentang pengelolaan Pulau Batam, yang pada awalnya didasarkan atas Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang “Pengembangan Pembangunan Pulau Batam” yang meliputi wilayah Batu Ampar saja, diarahkan untuk membangun Pulau Batam sebagai Kawasan Berikat (Bonded Warehouse). Peraturan perundangan terakhir yaitu Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun1992 memperluas wilayahnya meliputi Pulau batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang serta beberapa pulau kecil yang berada di sekitar pulau Rempang-Galang.

Berdasarkan latarbelakang itulah pembangunan kawasan industri Pulau Batam yang dimulai sejak 1970-an identik dengan lembaga Otorita Batam yang mengelola kawasan industri. Kehadiran Otorita Batam untuk memperkuat kedudukan Pemerintah Pusat yang sejak awal dirancang menyaingi Singapura. Untuk mempermudah mendapatkannya, maka dasar hukum pendirian Otorita Batam tidak perlu disetujui lembaga legislatif (DPR RI),  tetapi langsung berdasarkan Keputusan Presiden (KEPPRES). Sehingga berdasarkan Keputusan Presiden itulah silih berganti diterbitkannya pelbagai kebijakan mulai dari Keputusan Presiden No.65 Tahun 1970 sehingga No.28 Tahun 1992 yang berjumlah 11 (diterbitkan era Orde Baru), kemudian 3 Keputusan Presiden diterbitkan pada era Reformasi Konstitusi.

Selain pelbagai Keputusan Presiden tentang Otorita Batam dan Kawasan Industri, pada era Reformasi secara bersamaan terbit Undang-Undang No.53 Tahun 1999 (diubah  dengan UU No.13 Tahun 2000) tentang “Pendirian Kota Batam yang otonom”. Dengan kebijakan ini Pulau Batam yang semula hanya sebagai Kota Administratif (tanpa legislatif daerah), statusnya berubah menjadi daerah otonom kota yang mempunyai kewenangan dan anggota legislatif daerah. Kebijakan ini menyebabkan ‘dualisme’ kekuasaan antara Otorita Batam (Pemerintah Pusat) dan Pemerintah Kota Batam tentang lembaga mana yang berhak mengelola Pulau Batam.

Dalam memahami hubungan pembangunan kawasan industri antara Pulau Batam dan Pulau Pinang terdapat dua perbedaan. Pertama, kawasan industri dan institusi yang mengelola  di Pulau Batam tidak didukung berdasarkan undang-undang dan kepastian hukum, kecuali Keputusan Presiden pada era Orde Baru dan Reformasi (sebelum tahun 2007). Sementara di Pulau Pinang kawasan industri dan pengelolanya berdasarkan undang-undang. Kedua, dalam pengelolaan kawasan industri di Pulau Pinang, tidak terjadi dualisme kekuasaan, sementara di Pulau Batam terjadi dualisme kekuasaan antara ‘Otorita Batam’ (Pemerintah Pusat) dengan Pemerintah Kota Batam. Hal ini sejalan dengan perkembangan pembangunan Kota Batam, serta pertumbuhan penduduk yang secara perlahan meningkat. Atas pertimbangan ini, Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 34/1983 mengenai “Pembentukan Kota Administratif Batam” di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau sebagai perangkat dekonsentrasi. Sejak saat itulah pengelolaan kawasan Batam melibatkan dua lembaga, yaitu Badan Otorita Batam dan Pemerintah Kota Administratif.  Perubahan besar terjadi setelah dikeluarkan dan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Daerah, yang menjadikan Batam sebagai daerah Pemerintahan Kota Otonom yang sama kedudukannya dengan kabupaten dan kota-kota lainnya di Indonesia. Kedua peraturan ini selanjutnya dirubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Terkait dengan dualisme tersebut, maka sebagaimana banyak diberitakan oleh media, ada upaya uji materi terhadap UU tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas yang terkait Badan Pengusahaan Batam.

II. PERMASALAHAN

 

Tantangan utama yang harus dihadapi oleh Kota Batam saat ini adalah bagaimana mengharmoniskan pembagian wewenang dua pemerintahan sehingga pengelolaan kotanya dapat berkembang dengan optimal. Perlu dicari terobosan taktis dan strategis agar hubungan keduanya menjadi sinergi dan bukannya kontroversi. Dengan adanya sinergi maka tujuan awal pembangunan kota Batam yang secara terencana memang dimaksudkan untuk memberikan kontribusi dalam kemajuan ekonomi Nasional, pada era otonomi Daerah ini tetap dapat dilaksanakan.
Bahkan, dengan adanya masalah ini maka investor yang telah menanamkan investasinya di Batam juga hengkang dan mencari negara lain yang kondusif dan memiliki kepastian hukum yang jelas.
Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat menyatakan enam investor asing siap meninggalkan Batam untuk berpindah ke Malaysia dan Vietnam, menyusul ketidakjelasan peraturan dan status Batam sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Para investor yang berasal dari Singapura dan bergerak di bidang elektronik tersebut menilai peraturan di Batam semakin tidak jelas, serta biaya produksi semakin tinggi. Para investor tersebut juga mempertanyakan masih adanya dualisme perizinan dan kewenangan antara Otorita Batam dan Kotamadya Batam, sehingga membingungkan mereka.
Sementara, Ketua Kadinda Batam Nada F Soraya menyatakan sudah ada 8 perusahaan yang membatalkan realisasi investasi mereka di Batam. Sedangkan 10 perusahaan memindahkan pabrik mereka ke luar Batam dan delapan perusahaan lagi sudah tidak aktif lagi.
Dalam tempo lima tahun terakhir ini terjadi relokasi industri kekawasan lain diluar Batam terutama ke luar negeri. Misalnya ke India seperti yang dilakukan PT Dynacs Digital Studio, Thailand yakni PT Viking Life Saving dan Kyocera Indonesia. Sementara itu perusahaan yang pindah ke Cina, yakni PT, Toyoplas Industries Indonesia dan Techtronic Appliances.
Selain itu, dua perusahaan yakni PT NSG dan PT Chammaam Indonesia Tunisian Textile & Trade, membatalkan realisasi rencana investasi mereka. Kemudian enam lagi dipastikan menunda realisasi investasi. Keenamnya itu adalah PT Elektronik Assembling Indonesia, AKS, Filter Indonesia Tbk, Kiki Aditama Wijaya, Niaga Sakti, dan Sentosa Makmur Indonesia.
Sementara terdapat delapan perusahaan tidak aktif lagi, yakni CV Batam Knitting Factory, PT Chiyoda Elektronic Indonesia, Galaxy Batam, Lucent Technologies Network System Indonesia, Koindo Megatron Sejati, OKI Electric Cable Batam dan Tyco Precision Engineering.
Penurunan aktivitas industri tersebut cukup mengkhawatirkan karena berimbas juga pada kelompok usaha lain di Batam, terutama usaha kecil menengah. Sebagai ilustrasi data Aspekalima Batam (Asosiasi Pedagang Kaki lima Batam) tahun 2005 mencatat sekitar 2000 pedagang kaki lima, padahal pada tahun sebelumnya mencapai 3.500 pedagang kaki lima.
Permasalahan-permasalahan ini timbul karena belum adanya kepastian hukum menyangkut investasi di Batam. Lantas, langkah apa yang diambil pemerintah untuk mengatasi hal ini ?

III. PEMBAHASAN

Kawasan industri (industrial estate) adalah kawasan yang dikhususkan untuk kegiatan industri lengkap disertai infrastruktur pendukung. Setiap perusahaan yang beroperasi tetap mengikuti aturan pajak dan kepabeanan. Ada ratusan kawasan industri di Indonesia, total luasnya mencapai 300.000 hektar Misalnya Bekasi, Karawang, Tanggerang, Semarang, Sidoarjo, Medan, Makassar dan Bontang
Kawasan berikat (bonded zone) adalah sebuah zona terbatas yang digunakan untuk tempat produksi barang dan material desain konstruksi, kegiatan perencanaan, pemilahan inspeksi pendahuluan dan akhir, pengemasan barang impor dan barang dari daerah pabean Indonesia lainnya. Barang-barang yang diimpor untuk kawasan berikat mendapat perlakuan khusus, misalnya penundaan kewajiban impor, bebas pajak, bebas PPN, bebas PPnBM, dan bebas PPH. Ada 426 perusahaan yang beroperasi di 15 kawasan berikat di Indonesia.
Kawasan ekonomi khusus (special economic zone-SEZ) adalah kawasan tertentu dalam suatu negara yang punya paying hukum ekonomi lebih liberal. Tujuan utamanya, meningkatkan investasi asing. Praktek SEZ muncul dengan beragam nama, mulai dari kawasan perdagangan bebas, kawasan pemrosesan barang ekspor, kawasan bebas, kawasan industri, dan pelabuhan bebas. Menurut data Bank Dunia, sampai tahun 2007 terdapat lebih dari 3000 perusahaan di lokasi SEZ yang tersebar di 120 negara. Cina termasuk yang paling dulu membangun SEZ dengan Shenzen sebagai contoh paling berhasil dari sebuah kampung kecil menjadi kota berpenduduk 10 juta dalam 20 tahun.
Melihat kondisi Batam yang dinilai pemerintah sebagai keadaan darurat yakni banyaknya investor yang hengkang atau mengalihkan tempat usahanya dari Batam, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1/2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 36/2000 tentang penetapan Perpu No 1 /2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang dikeluarkan 4 Juni 2007. Batam sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) ditetapkan menjadi FTZ penuh. Sedangkan KEK Bintan dan Karimun sifat FTZ-nya terbatas, hanya di beberapa daerah (enclave).
Sebelum Perpu ini terbit, yakni pada 22 Juni 2006, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura sepakat bekerja sama meningkatkan investasi di Batam, Bintan dan Karimun. Kawasan ini pun disebut sebagai KEK.
Tapi kesepakatan ini hanya bisa terealisasi jika ada payung hukum berupa undang-undang. Masalahnya, menerbitkan undang-undang butuh waktu yang lama karena harus mendapat persetujuan DPR. Demi mempelancar urusan legal KEK maka pemerintah membuat perpu. Salah satu isi Perpu ini menyatakan, penetapan KEK tak perlu lagi lewat undang-undang tapi cukup dengan PP. Daerah mana saja serta aturan seperti apa yang diterapkan juga ditetapkan dengan PP, meski terpisah.
Namun, saran untuk pemerintah adalah PP yang dikeluarkan harus memuat secara rinci segala aturan mengenai KEK. Aturan yang termaktub, antara lain, soal kewenangan pemerintah daerah dengan pengelola KEK, kepemilikan lahan, tenaga kerja, dan bea cukai.
Adapun PP No 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang mengatur FTZ di Batam agak berbeda dengan daerah lainnya yakni Bintan dan Karimun. Pembentukan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Batam tidak perlu buru-buru dibentuk seperti daerah lainnya. Khusus Batam, Badan Pengusahaan ditetapkan paling lambat 31 Desember 2008. Sedangkan Badan Pengelola Kawasan Bintan dan Karimun harus sudah terbentuk setahun setelah beleid berlaku.
Pemerintah punya alasan, Batam sekarang punya Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Jadi selama Badan Pengusahaan belum terbentuk, tugasnya dilakukan Otorita Batam. Lantaran alasan tersebut pemerintah membuat tiga peraturan pemerintah yakni untuk Batam, Bintan dan terakhir Karimun. Tujuannya, pemerintah ingin menjaga iklim investasi yang sudah ada di pulau yang bertetangga dengan negeri Singapura.
Sehingga terdapat masa transisi untuk Otorita Batam sebelum perannya diambil Badan Pengusahaan. Seperti, kontrak-kontrak yang ditandatangani badan otorita dengan investor harus tetap jalan.
Sementara, Badan Pengusahaan akan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan dan pembangunan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas. Kepala dan anggota lembaga tersebut ditunjuk oleh Dewan Kawasan dengan masa kerja selama lima tahun. Soal lalu lintas barang, Badan Pengusahaan bekerjasama dengan Bea dan Cukai.
Adapun beberapa aturan tentang Kawasan Bebas Batam yang tertuang dalam PP adalah sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Dengan Peraturan Pemerintah ini, kawasan Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk jangka waktu 70 (tujuh puluh) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini.
(2) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru;
(3) Batas tetap dan titik koordinat dari wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagaimana dalam peta terlampir yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 2
(1) Di dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam dilakukan kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi, seperti sektor perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata dan bidang lainnya.
(2) Bidang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
(3) Pengembangan kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi di dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas pada kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam.
Pasal 4
(1) Hak Pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dan Hak Pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam yang berada di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (2) beralih kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Hak-hak yang ada diatas Hak Pengelolaan atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir.
(3) Untuk perpanjangan/pembaharuan hak setelah hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, akan diberikan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 5
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, segala perjanjian, kesepakatan, atau kerjasama serta izin atau fasilitas yang diberikan oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dan Pemerintah Kota Batam dinyatakan tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir.
Pasal 6
(1) Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam ditetapkan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2008.
(2) Sebelum terbentuknya Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, maka tugas dan wewenangnya dilaksanakan secara bersama antara Pemerintah Kota Batam dengan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Jika ini dapat terlaksana dengan baik, maka terdapat peluang yang menguntungkan bagi Batam dan para investor, diantaranya investor dapat memilih bangunan pabrik yang siap pakai di 14 (empat belas) kawasan industri dengan infrastruktur dan fasilitas lengkap. Tersedia bangunan pabrik seluas 1000 meter persegi di atas lahan 2000 meter persegi dengan harga hanya US$200.000, pekerja terdidik banyak dijumpai di Batam, tanpa perlu rekrutmen dari luar pulau.
Selanjutnya, aplikasi investasi asing diproses secara one stop policy, dan disetujui dalam waktu tak lebih dari 20 hari. Semua perizinan diproses dalam satu atap oleh Otorita Batam (Batam Industrial Development Authorithy). Keunggulan lainnya adalah tanpa bea impor/ekspor untuk mesin, equipment, suku cadang dan raw material. Batam juga terbuka untuk bermacam jenis industri. Namun dengan status Batam dan lokasinya yang strategis maka industri pariwisata akan mengalami booming dengan kunjungan rata-rata 3.300 turis per hari (daerah wisata tersebuk kedua setelah Bali).
Namun, langkah pemerintah yang dilakukan untuk memajukan Batam bukannya tanpa halangan, anggota DPR telah berancang-ancang menolak pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 / 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sesuai dengan mekanisme, setiap perpu harus dibahas di DPR. Jika DPR menolak mengesahkan, maka semua peraturan turunan Perpu itu pun tak legal alias batal. Sederet alasan lain menolak Perpu karena telah menabrak aturan hukum lainnya, yakni Undang-Undang Nomor 32 / 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 / 2007 tentang Penanaman Modal. Perpu itu akan membuat kewenangan pemerintah daerah dikurangi dengan keberadaan pengelola KEK.
Penetapan Perpu ini juga dinilai membuat iri daerah lain. Daerah-daerah menuntut perlakuan serupa. Padahal, jika semua tuntutan dipenuhi, pendapatan negara akan turun drastis. Selain itu, perpu itu belum menjamin tak terjadi penyelundupan seperti yang jamak terjadi selama ini. Sebab ada disparitas harga antara di KEK dengan kawasan perbatasan sangat besar.
Beberapa pendapat lain yang tidak setuju dengan penetapan KEK menyatakan Indonesia tidak cocok dengan KEK. Malah terjadi salah kaprah tentang dasar penentuan KEK.
Memang tren KEK sedang menjamur di beberapa Negara. Di Cina, KEK terbukti sukses. Tapi jika ditelisik lebih jauh, kondisi Cina dengan Indonesia beda. Pada masa awal pemberlakuan kebijakan open door, Cina punya masalah dengan tingginya tarif impor dan birokrasi yang tak efisien. Untuk mengatasi masalah dengan cepat, Cina membuat KEK yang menyediakan insentif pajak khusus dan kebebasan ekspor-impor yang lebih besar.
Di Indonesia, hampir semua jenis tarif penting sudah sangat rendah. Bahkan kebijakan open door sudah jauh lebih dulu diterapkan di Indonesia. Seharusnya, Indonesia fokus pada isu lain, diantaranya mengatasi masalah ekonomi, biaya tinggi dalam industri karena pembebasan PPN dalam jangka panjang tidak menguntungkan Negara.
Meski ada suara sumbang, pemerintah maju terus. Apalagi pelamar KEK di Indonesia cukup banyak. Setidaknya ada sepuluh wilayah lain di luar Batam, Bintan dan Karimun yang sudah mengajukan permohonan ke Tim Persiapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEKI).

IV. KESIMPULAN

Keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 / 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang mengatur FTZ di Batam menjadi langkah positif bagi Batam sebagai tempat yang menarik investasi.
Perpu dan PP ini tentunya membuat kepastian hukum untuk berinvestasi semakin jelas. Sehingga persoalan tentang dualisme kepemimpinan dan kewenangan antara Pemerintah Kota (Pemko) Batam dan Otorita Batam (OB) seperti yang dijelaskan di atas tidak akan timbul.
Namun, langkah pemerintah ini bukannya tanpa halangan. Anggota DPR di Senayan Jakarta berancang-ancang untuk memblokade Perpu yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini.
Sesuai dengan mekanisme, setiap perpu harus dibahas di DPR. Jika DPR menolak mengesahkan, maka semua peraturan turunan Perpu itu pun tak legal alias batal.
Dan jika ini ternyata batal diundang-undangkan oleh DPR, maka keraguan akan kembali muncul dan para investor akan melihat tingkat kapastian hukum di Indonesia sangat rendah karena mudahnya peraturan yang dikeluarkan berubah atau batal dengan sendirinya.
Jika DPR mendukung pun sebenarnya investor masih ragu. Sebab, pengesahan Perpu menjadi UU pun harus menjalani proses yang lama dan panjang. Sehingga jika pemerintah SBY tidak berkuasa lagi. Siapa yang akan menjami peraturan yang diteken SBY ini tidak berubah dengan peraturan dari pemerintah yang baru dipilih ?

V. DAFTAR PUSTAKA

Suhendro, SH., Mhum, Hukum Investasi di Daerah Otonomi, Yogyakarta, Gita Nagari, 2005.
Astari Yanuarti, Pasar (Setengah) Bebas Batam, Jakarta, Gatra, 2007
Gentur Putro Jati – Nuria Bonita, FTZ Batam Lebih Spesial Ketimbang Bintan Karimun, Jakarta, Kontan, 15 Agustus 2007.
______
http://www.kimpraswil.go.id/, Batam Sejak1968 Hingga Era Otonomi Derah, Sebuah Pengantar untuk Melihat Tantangan yang Dihadapi
______
http://www.kapanlagi.com/, Enam Investor Siap Hengkang dari Batam, Minggu, 18 Februari 2007
______
http://www.dpr.go.id/artikel/terkini/, Komisi VI DPR Desak Menteri Perdagangan Susun Policies Design Pengembangan Batam, 27 Februari 2006.
______
http://www.kompas.com

Filed under: Hukum

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar