BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Kalau
penetapan status otonomi daerah diyakini oleh pemerintah dapat semakin
meningkatkan perkembangan suatu daerah dalam hal ini adalah Kota Batam, maka
aspek penting yang tidak boleh dikesampingkan adalah pelaksanaan otonomi daerah
itu secara nyata. Kami melihat kenyataan yang ada saat ini justru perkembangan
Kota Batam tidaklah seperti yang diharapkan, yaitu dapat menjadi kota industri
yang besar seperti halnya Singapura sehingga dapat menjadi salah satu lokomotif
ekonomi Indonesia yang dapat diandalkan.
Dalam
beberapa keadaan justru Kota Batam tertinggal jauh dari daerah–daerah lain di
Indonesia yang bukan berstatus otonomi daerah. Pada mulanya Kota Batam
dirancang untuk menjadi kota industri sasaran penanaman modal dari investor
asing namun justru saat ini semakin kehilangan pamornya dan ditinggalkan
investor satu per satu. Kota Batam yang tadinya diharapkan mampu bersaing
dengan Singapura sekarang ini malah tertinggal jauh bahkan dari negara – negara
Asean lainnya.
Dari
beberapa kenyataan yang terjadi ini kami melihat adanya kesalahan penerapan
dalam pelaksanaan status otonomi daerah. Saat ini Kota Batam mengenal 2 badan
dalam mengelola kotanya, yaitu BP Batam dan Pemko Batam. Pada kenyataannya
seringkali 2 badan yang sama – sama berkepentingan mengelola Kota Batam ini
agar semakin maju dan berkembang malah menjadi penyebab terhambatnya kemajuan
perkembangan Kota Batam. Tidak adanya keselarasan di antara 2 badan tersebut
dalam penerapan peraturan dan penanganan masalah di Kota Batam adalah
sumbernya.
Dualisme
pemerintahan di Kota Batam inilah yang kami akan coba bahas sehingga suatu
pertanyaan siapakah yang sebenarnya berwenang mengelola Kota Batam ini dapat
terjawab. Dengan mencoba memaparkan fakta–fakta yang ada semoga kebenaran dapat
terungkap dan Kota Batam dapat semakin maju dan berkembang seperti harapan
semula.
B.
Batasan
Masalah
Pada makalah yang kami buat ini dengan
judul dualisme pemerintahan menimbulkan ketidakpastian hukum di Kota Batam, serta
dampak-dampak yang ditimbulkan, maka batasan masalah yang akan kami bahas pada
makalah ini yaitu :
1.
Otonomi
daerah di Indonesia
2.
Sejarah Kota Batam
3.
Landasan hukum BP Batam dan Pemko Batam
4.
Permasalahan–permasalahan yang muncul dari ketidakpastian hukum
5.
Dambaan kepastian hukum di Kota Batam
C.
Tujuan
Sebagai warga negara yang baik sudah
selayaknya kita berbakti bagi bangsa dan negara,
oleh karena itu dalam makalah yang kami buat ini, kami berusaha melihat
permasalahan permasalahan yang ada khususnya di daerah dimana kami bermukim dan
mencoba untuk merumuskan jawaban-jawaban dari permasalah yang ada sesuai dengan
informasi yang kami kumpulkan. Mudah –mudahan bermanfaat demi kemajuan bangsa
dan negara. MERDEKA !!!
BAB II
PEMBAHASAN
A.
LANDASAN
TEORI
Makalah ini disusun
berdasarkan landasan-landasan, yaitu :
a.
Sistem
Pemerintahan
Berdasarkan sifat
hubungan antara organ – organ yang
diserahi kekuasaan yang ada di dalam negara
itu, khususnya berdasarkan sifat hubungan badan legislatif dengan badan
eksekutif, maka sistem pemerintahan di dalam negara yang mengadakan atau
menyelenggarakan sistem pemisahan kekuasaan itu, didapatkan adanya tiga macam
sistem pemerintahan, yaitu :
1.
Negara dengan sistem
pemerintahan presidensial
2.
Negara dengan sistem
pemerintahan parlementer
3.
Negara dengan sistem
pemerintahan badan pekerja, atau referendum.
Kalau sistem – sistem tersebut di
atas kita hubungkan dengan demokrasi modern, kita akan mendapatkan tipe
daripada demokrasi modern itu sebagai berikut.
1.
Demokrasi, atau
pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahan
kekuasaan secara tegas, atau sistem presidensial. Kekuasaan eksekutif itu
dipegang oleh suatu badan atau organ yang di dalam menjalankan tugas eksekutif
itu tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat atau parlemen.
2.
Demokrasi, atau
pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahan
kekuasaan, tetapi di antara badan – badan yang diserahi kekuasaan itu, terutama
antara badan legislatif dengan badan eksekutif, ada hubungan yang bersifat
timbal balik, dapat saling memengaruhi, atau sistem parlementer.
3.
Demokrasi, atau
pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahan
kekuasaan, dan dengan kontrol secara langsung dari rakyat yang disebut sistem
referendum, atau sistem badan pekerja.
Persamaan dari ketiga tipe
demokrasi modern tersebut di atas ialah bahwa pada ketiga tipe demokrasi modern
tersebut kita dapatkan adanya badan perwakilan rakyat. Sedangkan perbedaannya
terletak pada tempat serta fungsi badan perwakilan rakyat tersebut di dalam
susunan negaranya.
Berdasarkan kepada setiap
penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Negara Republik Indonesia
menganut sistem pemerintahan parlementer.
b.
Tata
Hukum Indonesia
Tata hukum sama dengan sistem hukum
yaitu suatu cara atau sistem dan susunan yang membentuk keberlakuan suatu hukum
di suatu wilayah tertentu dan pada waktu tertentu. Tata hukum suatu negara (ius
constitutum = hukum positif) adalah tata hukum yang diterapkan atau disahkan
oleh negara itu. Artinya apabila ketentuan – ketentuan hukum itu dilanggar maka bagi si pelanggar akan dikenakan sangsi
yang datangnya dari badan atau lembaga berwenang. Dengan kata lain, tata hukum
Indonesia itu menata, menyusun, mengatur tertib kehidupan masyarakat Indonesia,
yang diterapkan oleh masyarakat hukum Indonesia (NKRI).
Di dalam Undang – Undang Dasar
Negara No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – perundangan,
dalam Pasal 7 diatur tentang Jenis, Hierarki dan Materi Muatan Peraturan
Perundang – undangan sebagai berikut :
Jenis
dan hierarki Peraturan Perundang – Undangan terdiri atas:
a.
Undang – Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b.
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat
c.
Undang – Undang /
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang
d.
Peraturan Pemerintah
e.
Peraturan Presiden
f.
Peraturan Daerah
Provinsi
g.
Peraturan Daerah
Kabupaten / Kota
c.
Tugas
dan Wewenang Pemerintahan Pusat dan Daerah
Kewenangan-kewenangan
Pemerintah pusat ada enam, yaitu :
·
Politik luar negeri
·
Pertanahan
·
Yustisi
·
Moneter
·
Fiscal nasional
·
Agama
·
Agama
Dalam urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di luar urusan pemerintahan, pemerintah dapat melakukan :
·
Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan
·
Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur
selaku Wakil Pemerintah
·
Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah
dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan
1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan
dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan
memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintah
2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan
antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau
antar pemerintahan daerah yang saling terkait
3) Urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah, yang diselenggarakan berdasarkan criteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan
pilihan
4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan
secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi :
a.
Perencanaan dan pengendalian pembangunan
b.
Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c.
Penyelenggaraan ketertiban umum dan keteteraman masyarakat
d.
Penyediaan sarana dan prasarana umum
e.
Penanganan di bidang kesehatan
f.
Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial
g.
Penanggulangan masalah social lintas kabupaten/kota
h.
Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota
i.
Memfasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan
menengah
j.
Pengendalian lingkungan hidup
k.
Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota
l.
Pelayanan kependudukan dan catatan sipil
m. Pelayanan administrasi umum
pemerintahan
n.
Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota
o.
Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota
p.
Urusan wajib lainnya, yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan
B.
Otonomi Daerah Di Indonesia
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terdapat dua
nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1.
Nilai Unitaris, yang
diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan
pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara (Eenheidstaat), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat,
bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan
pemerintahan
2.
Nilai dasar Desentralisasi
Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya
sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk
melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan
Dikaitkan
dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan
penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan
kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah
Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan, yaitu :
1.
Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai
fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang
berkembangnya aspirasi federalis relatif minim
2.
Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif
3.
Dati II adalah daerah ujung tombak pelaksanaan
pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat
di daerahnya
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1.
Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi
dan kondisi obyektif di daerah;
2.
Bertanggung jawab, pemberian otonomi
diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah
air; dan
3.
Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi
sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
·
Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Di Daerah
2.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah
3.
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
5.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6.
Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
·
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun
1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang
kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat
pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama
dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan
mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan
politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh
pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang
sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat.
Dalam kerangka
struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah,
dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi
Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang
dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Undang-undang
No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah
yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1.
Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari
Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah
tangganya
2.
Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah
atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada
Pejabat-pejabat di daerah
3.
Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk
turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada
Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah
tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.
Dalam kaitannya
dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Provinsi) maupun Dati II
(Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima)
orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam
Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1
(satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan
pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggung-jawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya,
atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili
Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan
dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran, mengajukan pertanyaan bagi
masing-masing Anggota, meminta keterangan, mengadakan perubahan, mengajukan pernyataan pendapat, prakarsa, dan penyelidikan), dan kewajiban
seperti
:
a.
Mempertahankan, mengamankan, serta mengamalkan PANCASILA
b.
Menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen
Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku
c.
Bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan
dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah
dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk
melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada
Daerah
d.
Memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan
rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian
tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974
adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah
sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun
implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari
pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif
tinggi terhadap pemerintah pusat.
·
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa
reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan
dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih
demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim
Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan
dihadapkan pada beberapa pilihan, yaitu :
1.
Melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah,
yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada
daerah
2.
Pembentukan negara federal
3.
Membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah
pusat.
Pada masa ini,
pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk
menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan
prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1.
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan
otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada
hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting
kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui
prakarsanya sendiri
2.
Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan
bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah
otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara
proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber
daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di
samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi
yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah
3.
Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan
otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya
pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara
aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh
karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada
daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini
berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota
4.
Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua
kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan,
moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada
daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
5.
Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk
membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.
Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti
menjadi daerah provinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus
wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan
fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya
6.
Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas
desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi
sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi
perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat
diselenggarakan di daerah provinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan
mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah
masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7.
Wilayah Provinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil
dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota
yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut provinsi
8.
Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan
perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD
mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah
dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah
administratif bertanggung jawab kepada Presiden
9.
Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan
persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu
disahkan oleh pejabat yang berwenang
10.
Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan
ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas
daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi
daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat
dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi
lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang
11.
Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala
daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan
oleh DPRD
12.
Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan,
pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur
yang ditetapkan pemerintah
13.
Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas,
sedang pada provinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada provinsi
adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian
kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola
kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan,
pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan
tertentu lainnya dalam skala provinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum
mampu ditangani Kabupaten dan Kota
14.
Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat
dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern
oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau
dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup
pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas
Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan,
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha
milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan
pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten
Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus
15.
Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD,
dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban
Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD
C.
SEJARAH
KOTA BATAM
Kota
Batam adalah kota yang strategis karena terletak di jalur pelayaran
internasional. Luas dari daratan ini 1.5 kali dari luas Singapura yang menjadi
tetangganya yakni 1.040 km persegi. Iklim yang ada di kota ini adalah iklim
tropis dengan daratan yang berbukit serta memiliki banyak lembah. Tanah yang
ada di Bata ini bisa dikatakan kurang subur karena berjenis tanah merah. Meski
dikaruniai tanah yang kurang subur, tapi ada aspek lain yang membuat Batam
tampak menggoda bagi orang lain untuk mengunjunginya.
Letak
kota Batam sangat strategis. Kota ini bersebelahan dengan Selat Singapura dan
Malaysia di bagian utara, berbatasan dengan Kabupaten Lingga di sebelah
selatan, dengan Kabupaten Karimun di barat serta arah timur dengan Pulau Bintan
dan Tanjung Pinang. Hal ini menjadikan Kota Batam sebagai jalur yang harus
dilewati oleh banyak pedagang mulai dari skala kecil sampai pedagang raksasa.
Hal ini karena sebagai jalur pelayaran internasional menyebabkan kota ini mampu
menjadi daya tarik bagi orang luar untuk
mendapatkan keuntungan di sana.
Hal
ini dapat dipahami karena dengan besarnya arus perdagangan maka akan
menimbulkan multiplier effect bagi bidang usaha lainnya seperti semakin
pesatnya kawasan hiburan, semakin maraknya pusat perbelanjaan dan sebagainya.
Multiplier effect ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi kota Batam langsung
menanjak.
Dengan
tujuan mula menjadikan Pulau Batam sebagai Singapuranya Indonesia, mendorong
pemerintah Indonesia membuat keputusan untuk menjadikan Pulau Batam sebagai
daerah industri. Untuk mewujudkannya, rencana ini didukung sepenuhnya oleh
Badan Otorita Batam (BOB) atau yang
lebih dikenal sebagai Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.
Selanjutnya berubah nama menjadi Badan Pengusahaan Batam (BP Batam).
Program
ini terjadi pada tahun 70-an tepatnya dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973.
Hal ini karena Kota Batam merupakan kota yang menempati posisi strategis.
Berada di ujung pulau Indonesia serta berdekatan dengan Malaysia dan negara
maju Singapura membuatnya menjadi salah satu kawasan yang terhubung dalam jalur
pelayaran internasional. Dalam catatan sejarah, pengembangan pulau Batam
melewati 3 periode, yaitu sebagai berikut.
1.
Periode
Masa Lampau
Sejarah
Pulau Batam bisa ditelusuri sewaktu pertama kalinya Bangsa Mongolia dan Indo
Aryan pindah menetap di kerajaan Melayu, yaitu sekitar tahun 1000 M sebelum
kerajaan Islam Malaka dan Bintan berdiri. Waktu itu kolonial Belanda, Inggris,
dan Portugis belum menginjakkan kaki di Pulau Batam.
Pada
1513 M, Pulau Batam telah menjadi bagian dari kerajaan Johor. Penduduk Pulau
Batam diisi oleh orang – orang Melayu yang dijuluki sebagai orang Selat atau
orang Laut. Dalam versi lain, sejarah tentang Pulau Batam ini diceritakan telah
dihuni oleh orang Selat pada abad 14 atau berkisar pada tahun 1300 M. Orang –
orang Selat ini menghuni pulau ini sejak kerajaan Tumasik masih berdiri.
Kerajaan Tumasik sekarang bernama Singapura, sebuah negara kecil tapi sangat
maju yang ada di Asia.
Pada
saat itu, kekuasaan berpusat di Bentang yang hari ini dikenal sebagai Pulau
Bintan serta dipimpin oleh Lakamana Hang Nadim. Pada saat itu, Laksamana Hang
Nadim aktif mengusir penjajah. Setelah kepemimpinan Laksamana Hang Nadim
estafet selanjutnya dipegang oleh Sultan Johor hingga sampai pertengahan abad
18. Pada masa itu, Kerajaan Malaka sedang dalam masa jaya – jayanya.
2.
Periode
Pendudukan kolonial
Keberadaan
Selat Malaka pada abad ke 18 ternyata begitu menggoda kaum penjajah untuk
menguasainya. Keberadaan selat ini sendiri memunculkan rivalitas di antara
Inggris dan Belanda untuk dapat menguasainya.
Pada
saat itu , Bandara Singapura berkembang sangat pesat sehingga Belanda melakukan
berbagai strategi agar keinginannya untuk menguasai perdagangan Melayu bisa
berhasil. Hal ini menyebabkan banyak para saudagar – saudagar datang dengan
sembunyi – sembunyi ke Singapura. Sedangkan Pulau Batam yang berbatasan dengan
Singapura menjadi tempat bersembunyi bagi para pedagang dari gangguan patroli
tentara Belanda.
Pada
abad ke 18, Lord Minto dan Raffles dan kerajaan Inggris melakukan transaksi
barter dengan pemerintah kolonial Hindia belanda yang berakibat kepada
penyerahan Pulau Batam yang disebut kembarannya Singapura jatuh ke tangan
Belanda.
Orang
yang menjadi penguasa Batam untuk pertama kalinya adalah Nong Isa atau Raja Isa
bin Raja Ali. Beliau diperintah oleh Sultan Riau dan Yang Dipertuan Muda Riau
untuk memerintah kawasan Nongsa dan daerah sekitarnya. Kawasan Nongsa dan daerah
sekitarnya inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Pulau Batam. Surat
perintah dari Sultan Riau dan Yang Dipertuan Muda Riau tertanggal 22 Jumadil
Akhir 1245 atau bertepatan dengan kalender Masehi, yakni tanggal 18 Desember
1829.
Tanggal
ini yang kemudian dijadikan sebagai tanggal Hari Jadi Kota Batam. Dahulu Kota
Batam bernama Pulau Batang. Sejarah tentang asal usul nama ini tertulis pada
sebuah peta yang digunakan VOC pada tahun 1675. Peta ini tersimpan rapi di
Universitas Leiden Belanda.
3.
Periode
Globalisasi
Pada tahun 1960-an, Batam ditunjuk dan
ditetapkan menjadi basis logistik untuk minyak bumi yang bersumber di Pulau
Sambu, kota yang berumur sangat tua. Jauh lebih tua 1 abad dari Kota Batam yang
sekarang dijadikan tempat tujuan berinvestasi, melakukan kegiatan ekonomi,
perdagangan, alih kapal serta jasa
D.
Landasan
Hukum PB Batam dan Pemko Batam
Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami
kemajuan yang siginifikan ketika kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam
bidang investasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN) setelah pemerintah menerbitkan peraturan yang membebaskan
pajak perseroan untuk masa dua tahun (Undang-undang No 11 Tahun 1970).
Lahirnya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1967, Undang-undang No 11 tahun 1970 dan Undang-undang No 6 Tahun 1968
Undang-undang No 12 Tahun 1970 memberi kemudahan bagi pelaksanaan penanaman
modal (investasi). Sejak berlakunya Undang-undang PMA tahun 1967, aliran modal
asing setiap tahun menunjukkan perkembangan dan peningkatan, baik dari segi
kuantitatif maupun kualitatif, karena letak wilayahnya yang strategis dan
berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura membuat Batam
menjadi tempat yang efisien untuk penanaman investasi. Hal ini ditunjang dengan
peraturan tentang pengelolaan Pulau Batam, yang pada awalnya didasarkan atas
Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang “Pengembangan Pembangunan Pulau
Batam” yang meliputi wilayah Batu Ampar saja, diarahkan untuk membangun Pulau
Batam sebagai Kawasan Berikat (Bonded
Warehouse). Peraturan perundangan terakhir yaitu Keputusan Presiden Nomor
28 Tahun1992 memperluas wilayahnya meliputi Pulau batam, Pulau Rempang dan
Pulau Galang serta beberapa pulau kecil yang berada di sekitar pulau
Rempang-Galang.
Berdasarkan latarbelakang itulah pembangunan kawasan
industri Pulau Batam yang dimulai sejak 1970-an identik dengan lembaga Otorita
Batam yang mengelola kawasan industri. Kehadiran Otorita Batam untuk memperkuat
kedudukan Pemerintah Pusat yang sejak awal dirancang menyaingi Singapura. Untuk
mempermudah mendapatkannya, maka dasar hukum pendirian Otorita Batam tidak
perlu disetujui lembaga legislatif (DPR RI), tetapi langsung berdasarkan
Keputusan Presiden (KEPPRES). Sehingga berdasarkan Keputusan Presiden itulah
silih berganti diterbitkannya pelbagai kebijakan mulai dari Keputusan Presiden
No.65 Tahun 1970 sehingga No.28 Tahun 1992 yang berjumlah 11 (diterbitkan era
Orde Baru), kemudian 3 Keputusan Presiden diterbitkan pada era Reformasi
Konstitusi.
Selain pelbagai Keputusan Presiden tentang Otorita Batam
dan Kawasan Industri, pada era Reformasi secara bersamaan terbit Undang-Undang
No.53 Tahun 1999 (diubah dengan UU No.13 Tahun 2000) tentang “Pendirian
Kota Batam yang otonom”. Dengan kebijakan ini Pulau Batam yang semula hanya
sebagai Kota Administratif (tanpa legislatif daerah), statusnya berubah menjadi
daerah otonom kota yang mempunyai kewenangan dan anggota legislatif daerah.
Kebijakan ini menyebabkan ‘dualisme’
kekuasaan antara Otorita Batam (Pemerintah Pusat) dan Pemerintah Kota Batam
tentang lembaga mana yang berhak mengelola Pulau Batam.
Dalam memahami hubungan pembangunan kawasan industri antara
Pulau Batam dan Pulau Pinang terdapat dua perbedaan. Pertama, kawasan industri
dan institusi yang mengelola di Pulau Batam tidak didukung berdasarkan
undang-undang dan kepastian hukum, kecuali Keputusan Presiden pada era Orde
Baru dan Reformasi (sebelum tahun 2007). Sementara di Pulau Pinang kawasan
industri dan pengelolanya berdasarkan undang-undang. Kedua, dalam pengelolaan
kawasan industri di Pulau Pinang, tidak terjadi dualisme kekuasaan, sementara
di Pulau Batam terjadi dualisme kekuasaan antara ‘Otorita Batam’ (Pemerintah
Pusat) dengan Pemerintah Kota Batam. Hal ini sejalan dengan perkembangan
pembangunan Kota Batam, serta pertumbuhan penduduk yang secara perlahan
meningkat.
Atas pertimbangan ini, Pemerintah Pusat mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1983 mengenai “Pembentukan Kota Administratif
Batam” di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau sebagai perangkat
dekonsentrasi. Sejak saat itulah pengelolaan kawasan Batam melibatkan dua
lembaga, yaitu Badan Otorita Batam dan Pemerintah Kota Administratif. Perubahan besar terjadi setelah dikeluarkan
dan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Daerah, yang
menjadikan Batam sebagai daerah Pemerintahan Kota Otonom yang sama kedudukannya
dengan kabupaten dan kota-kota lainnya di Indonesia. Kedua peraturan ini
selanjutnya dirubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah dan
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
E.
Permasalahan
Tantangan
utama yang harus dihadapi oleh Kota Batam saat ini adalah bagaimana
mengharmoniskan pembagian wewenang dua pemerintahan sehingga pengelolaan
kotanya dapat berkembang dengan optimal. Perlu dicari terobosan taktis dan
strategis agar hubungan keduanya menjadi sinergi dan bukannya kontroversi.
Dengan
adanya sinergi maka tujuan awal pembangunan kota Batam yang secara terencana
memang dimaksudkan untuk memberikan kontribusi dalam kemajuan ekonomi Nasional,
pada era otonomi daerah ini tetap dapat dilaksanakan. Bahkan dengan adanya
masalah ini maka investor yang telah menanamkan investasinya di Batam juga
hengkang dan mencari Negara lain yang kondusif dan memiliki kepastian hukum
yang jelas.
Ketua
Umum Kadin Indonesia MS Hidayat menyatakan enam investor asing siap
meninggalkan Batam untuk berpindah ke Malaysia dan Vietnam, menyusul
ketidakjelasan peraturan dan status Batam sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Para investor yang berasal dari Singapura dan bergerak di bidang elektronik tersebut menilai peraturan di Batam semakin tidak jelas, serta biaya produksi semakin tinggi. Para investor tersebut juga mempertanyakan masih adanya dualisme perizinan dan kewenangan antara Otorita Batam dan Kotamadya Batam, sehingga membingungkan mereka.
Para investor yang berasal dari Singapura dan bergerak di bidang elektronik tersebut menilai peraturan di Batam semakin tidak jelas, serta biaya produksi semakin tinggi. Para investor tersebut juga mempertanyakan masih adanya dualisme perizinan dan kewenangan antara Otorita Batam dan Kotamadya Batam, sehingga membingungkan mereka.
Sementara, Ketua Kadinda Batam Nada F Soraya menyatakan
sudah ada 8 perusahaan yang membatalkan realisasi investasi mereka di Batam.
Sedangkan 10 perusahaan memindahkan pabrik mereka ke luar Batam dan delapan
perusahaan lagi sudah tidak aktif lagi.
Penurunan aktivitas industri tersebut cukup mengkhawatirkan
karena berimbas juga pada kelompok usaha lain di Batam, terutama usaha kecil
menengah. Sebagai ilustrasi data Aspekalima Batam (Asosiasi Pedagang Kaki lima
Batam) tahun 2005 mencatat sekitar 2000 pedagang kaki lima, padahal pada tahun
sebelumnya mencapai 3.500 pedagang kaki lima.
Permasalahan-permasalahan ini timbul karena belum adanya kepastian hukum menyangkut investasi di Batam.
Permasalahan-permasalahan ini timbul karena belum adanya kepastian hukum menyangkut investasi di Batam.
Berdasarkan uraian-uraian di atas yang
menjelaskan adanya tumpang tindih dalam pelaksanaan beberapa kewenangan yang
berakibat menimbulkan banyak sekali permasalahan dalam pengembangan kota, maka
kami menyimpulkan bahwa dualisme pemerintahan di Kota Batam menimbulkan konflik
vertical dan horizontal, seperti :
a.
Konflik dalam
Perencanaan dan pengendalian pembangunan yang dikarenakan Izin Prinsip atau
Fatwa Planologi atau penggunaan lahan diterbitkan oleh Otorita, sedangkan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) diterbitkan oleh Pemko Batam. Dengan kondisi ini,
maka peran Pemko Batam sebagai pemegang otoritas menyeluruh dalam pengendalian
pembangunan tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya karena Pemko hanya
bisa mengendalikan tertib bangunannya saja
b.
Konflik dalam
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. Sebagaimana yang
diamanatkan dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang “Penataan Ruang”, maka
Pemerintah Kota memiliki kewajiban untuk menyusun Rencana Penataan Ruang di
wilayahnya masing-masing. Pemko Batam telah melaksanakan kewajibannya dalam penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) namun sekali lagi Pemko tidak memiliki
kewenangan dalam pengawasan tata ruang di wilayah Kota Batam karena hal ini
terkait dengan kewenangan pemberian izin penggunaan lahan yang hingga saat ini
masih dipegang oleh Otorita Batam. Apabila konflik kewenangan ini tidak segera
diselesaikan maka akan membawa dampak yang amat serius bagi keseimbangan tata
guna lahan kota Batam yang notabene sangat terbatas.
c.
Konflik dalam
Penyediaan sarana dan prasarana umum. Perlu pembagian kewenangan yang tegas
serta terperinci antara pihak Pemko dan Otorita di dalam penetapan jenis sarana
dan prasarana umum yang menjadi kewajiban masing-masing. Hal ini untuk menjamin
kepentingan masyarakat yang berhak atas fasilitas tersebut
d.
Konflik dalam
Pengendalian lingkungan hidup dapat terjadi karena aturan yang memuat kewajiban
investor untuk melaksanakan analisi dampak lingkungan akibat pembangunan yang
direncanakannya melekat pada perizinan prinsip/fatwa planologi yang diterbitkan
oleh pihak Otorita. Dengan demikian Pemko tidak memiliki otoritas untuk
mengendalikan lingkungan. Saat ini telah terjadi banyak sekali kegiatan
pemotongan bukit-bukit dan reklamasi pantai yang tidak memperhatikan
keseimbangan lingkungan.
e.
Konflik dalam Pelayanan
pertanahan. Salah satu masalah yang muncul akibat konflik ini adalah adanya dua
jenis pajak tanah yang dibebankan kepada masyarakat, yaitu berupa pembayaran
Pajak Bumu dan Banguna (PBB) dan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO).
f.
Konflik dalam Pelayanan
administrasi penanaman modal. Pelayanan administrasi penanaman modal adalah
segala perizinan dan retribusi yang menyangkut investasi, baik untuk industri
maupun bidang lain. Hingga saat ini otoritas kewenangan ini ada di pihak
Otorita, yang merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat. Dengan
demikian dampak ekonomi atas banyaknya investasi yang ada di Kota Batam tidak
dapat dinikmati oleh masyarakat setempat, karena pendapatan atas pajak
investasi tersebut hanya sedikit sekali yang menjadi hak dari Pemko.
F. DAMBAAN
KEPASTIAN HUKUM DI KOTA BATAM
IDEALNYA penetapan suatu kawasan dalam
bentuk apapun seyogyanya akan dirancang sedemikian rupa dari segala sesuatu
yang diperlukan dengan mencurahkan segala upaya dalam penataan terutama dalam
pelaksanaan studi kelayakan, apabila hasil pengkajian tidak menguntungkan
jelaslah persoalan ini akan sirna dengan sendirinya. Namun sebaliknya hasil
pengkajian dinyatakan lulus berarti segala sesuatu yang telah diputuskan tentu
telah jelas apa-apa saja yang harus dilakukan baik sarana dan prasarana dan
segala sesuatu yang tertuang dalam rekomendasi dinyatakannya lulus
kelayakannya.
Berdasarkan
atas pemikiran ini, masing-masing negara yang akan menyusun strategi yang
berkesinambung dalam membangun atas basis fundamental ekonominya. Demikian juga
bagi negara kita, kepala negara sebagai pengemban amanat rakyat telah
mengeluarkan kebijakan Pembangunan Nasional berbasis penguatan fundamental
ekonomi nasional berupa Keputusan
Presiden Nomor 41 Tahun 1973 menetapkan Daerah Industri Pulau Batam seluruh
wilayah Pulau Batam merupakan lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam.
Atas
kebijakan ekonomi ini maka lahirlah ”Otorita Batam” (sekarang Badan Pengusahaan
Kawasan) diberi mandat penuh untuk mengembangkan kawasan perdagangan bebas ini
yang waktu itu di dambakan sebagai lokomotif pertumbuhan industri nasional
untuk membangkitkan semangat bagi daerah-daerah agar menuju era
industrialisasi. Namun sangat disayangi harapan yang sedemikian muktahil
tinggal kenangan berlalu.
Sayang harapan yang indah ini tinggallah khayalan belaka, tentu saja kita ingin tahu sebab-musabab persoalan ini karena di beberapa belahan dunia yang juga aktif dalam merancangkan kawasan serupa seperti Batam namun kini mereka telah mencapai kemajuan ekonomi yang gilang gemilang telah turut memberikan kontribusi real atas perekonomian bagi negaranya.
Sayang harapan yang indah ini tinggallah khayalan belaka, tentu saja kita ingin tahu sebab-musabab persoalan ini karena di beberapa belahan dunia yang juga aktif dalam merancangkan kawasan serupa seperti Batam namun kini mereka telah mencapai kemajuan ekonomi yang gilang gemilang telah turut memberikan kontribusi real atas perekonomian bagi negaranya.
Untuk
adanya daya tarik bagi para investor dengan tersedianya infrastruktur yang
realitas, energi tercukupi, transportasi yang baik, stabilitas perekonomian,
keamanan nasional kondusif dan yang terpenting adanya jaminan perlindungan
hukum bagi para investor baik keamanan, ketertiban dan kepastian hukum. Filosofi
hukum dikatakan hukum itu buta sehingga dalam penegahkan hukum tidak pandang
buluh, oleh karenanya ciptakanlah hukum yang baik agar orang-orang taat dan
apabila hukum tidak konsisten (tidak baik) orang-orang cenderung tidak patuh
dan mengabaikan akibatnya kerancuan hukum merajarela di seputar kita.
Persoalan
terakhir inilah yang akan diulas dalam goresan ini, karena persoalan kepastian
hukum justru menjadi ganjaran sistem hukum di negara kita. Caruk maruk
sistem hukum di negara kita telah mewarnai gemerlap wajah hukum tersendiri
hingga menjadi sorotan sinis atas ketidakpastian hukum yang dirasakan oleh kita
semua.
Dampak
ketidakpastian hukum antara lain: pertama, Ketidakpercayaan para investor
terhadap otoritas penyelenggara kawasan industri. kedua, Perekonomian cenderung
merosot karena para pelaku usaha tidak simpati bahkan mencari daerah/tujuan
relokasi, ketiga, Penyalahgunaan kewenangan yang berujung pada Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN).
Praktek penyelanggaraan di kawasan
idaman ini terdapat sejumlah regulasi yang membuat masyarakat dan pelaku
usaha di Batam tidak nyaman:
1. Adanya sejumlah regulasi yang
membuat masyarakat dan pengusaha di Batam terasa tinggal di daerah Free Trade
Zone (FTZ). Keleluasan satu per satu terkikis atas kelebihan-kelebihan yang
dimiliki sebelumnya kini seolah tidak merasakan keistimewaan yang tinggal di
kawasan dikatakan serba menguntungkan / murah
a.
Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2003 terhadap
kendaraan bermotor, rokok, hasil dari tembakau dan minuman beralkohol dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai (Ppn).
b.
PP No. 30 Tahun 2005 selain keempat item tersebut diatas
“Elektronik juga dikenakan Ppn”
c.
Kedua Kebijakan dilestarikan melalui PP No. 2 Tahun 2009,
kemudian lahir PP No. 10 Tahun 2012 yang intinya semua barang masuk ke kawasan
bebas pabean tidak dikenakan PPn sejauh tidak keluar daerah pabean
d.
Penerapan Nomor Induk Kepabeanan (NIK)
e.
Importir baja harus mengantongi izin importer terdaftar (IT)
2. Terjadinya stagnasi pernerbitan
sertipikat di tahun 2006 atas bagian-bagian lahan yang dialokasi oleh BP
Kawasan kepada developer dan dijual kepada masyarakat disinyalir terdapat
kehilangan penerimaan negara oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) atas Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB). Akhirnya penyelesaian penerbitan
sertipikat ke atas nama perusahaan pengembang terlebih dahulu kemudian
dilanjuti balik nama ke atas nama pemilik terakhir.
3. Adanya kebijakan terhadap bahan
kebutuhan sehari-hari berdasar di impor diwajibkan atas makanan luar dengan
mencantumkan (ML)
4. Demikian juga kewajiban penerapan
Standar Nasional Indonesia (SNI)
Secara politik ketatanegaraan seluruh Pulau Batam dan pulau-pulau sekitarnya telah diberikan Hak Pengelolaan, namun untuk penerapannya diwajibkan pendaftaran bidang-bidang tanah untuk memperoleh Hak Pengelolaan setelah membayar uang pemasukan negara. Persoalan ini juga menambah deretan persoalan di pulau yang bentuknya seperti kalajengking ini. Isu hutan lindung sejak tahun 2009 atas dasar sejumlah Keputusan Menteri Kehutanan bahwa sejumlah bangungan terindikasi hutan wisata maupun hutan lindung. Hingga kini persoalan juga tidak jelas malahan lahir lagi Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 463/MENHUT-II/2013 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas ± 124.775 Ha, perubahan fungsi kawasan hutan seluas ± 86.663 Ha dan perubahan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas ± 1.834 Ha di Provinsi Kepulauan Riau.
Secara politik ketatanegaraan seluruh Pulau Batam dan pulau-pulau sekitarnya telah diberikan Hak Pengelolaan, namun untuk penerapannya diwajibkan pendaftaran bidang-bidang tanah untuk memperoleh Hak Pengelolaan setelah membayar uang pemasukan negara. Persoalan ini juga menambah deretan persoalan di pulau yang bentuknya seperti kalajengking ini. Isu hutan lindung sejak tahun 2009 atas dasar sejumlah Keputusan Menteri Kehutanan bahwa sejumlah bangungan terindikasi hutan wisata maupun hutan lindung. Hingga kini persoalan juga tidak jelas malahan lahir lagi Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 463/MENHUT-II/2013 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas ± 124.775 Ha, perubahan fungsi kawasan hutan seluas ± 86.663 Ha dan perubahan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas ± 1.834 Ha di Provinsi Kepulauan Riau.
Kehadiran Keputusan Menhut ini telah
tergores dalam sejarah Batam kegelisahan masyarakat batam antara lain:
a.
Menghambat investasi akibat ketidakpastian hukum
b.
Iklim investasi di Batam tidak kondusif yang ada
kegelisahan/kerisauan
c.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi
d.
Atas keputusan aneh ini dapat menghancurkan investasi di
Batam, karena area dijadikan pusat perekonomian 30 tahun yang lalu telah
berdiri permanen menjadi areal komersil, kini dijadikan “hutan beton”. Prestasi
yang tidak terpuji merupakan teroban baru lahirnya istilah hutan beton di jagad
raya ini.
e.
Semua pihak dirugikan karena sangat ketergantungan daripada
status lahan
f.
Terdapat sejumlah wilayah area investasi masuk kawasan hutan
g.
Situasi saat ini sungguh ironis dan tidak adanya kepastian
hokum bagi investor yang mendapatkan pengalokasian lahan dari Otorita Batam
secara legal maupun secara yuridis, malah para investor digiling melintasi area
hutan lindung
h.
Pelabuhan bebas dan perdagangan bebas soyogyanya mengayomi
para investor malahan yang ada hanyalah ketidakpastian hokum bagi semua pihak
i.
Sejarah mencatat pembangunan batam mengalami kemunduran
Berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 94 Tahun 1998 tentang perubahan atas Keputusan
Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang daerah industri Pulau Batam sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun
1989 dalam pasal 3 bahwa Menhut termasuk salah satu anggota pembina Daerah
Industri Pulau Batam dalam melaksanakan tugas selaku pembina bertanggungjawab
kepada Presiden.
Adapun Tugas” dari Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam antara lain:
1.
Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan Pulau Batam
sebagai suatu Daerah Industri
2.
Merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan
instalasi-instalasi dan fasilitasnya
3.
Mengembangkan dan mengendalikan kegiatan pengalihan kapalan
(transshipment) di Pulau Batam
4.
Menampung dan meneliti permohonan izin usaha yang diajukan
oleh para pengusaha, serta mengajukannya kepada instansi-instansi yang
bersangkutan
5.
Menjamin agar tata cara perijinan dan pemberian jasa-jasa
yang diperlukan dalam mendirikan dan menjalankan usaha di Pulau Batam dapat
berjalan lancer dan tertib, segala sesuatunya untuk dapat menumbuhkan minat
para pengusaha untuk menanamkan modalnya di Pulau Batam
Di samping tugas Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam secara yuridis Otorita Batam diberi
“kewenangan” untuk:
a.
Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah
b.
Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan
tugasnya
c.
Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak
ketiga dengan hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 41 s/d 43 UUPA
(Undang-undang Pokok Agraria)
d.
Menerima uang pemasukan/ganti rugi uang wajib tahunan
Dari
sini jelas bahwa Menhut secara organisatoris selaku pembina Otorita Batam
berkewajiban turut mengendalikan jaminan atas kelancaran dan ketertiban para
investor di Pulau Batam, apabila Menhut Lalmeaban selaku Pembantu Presiden
semestinya kebijakannya sinergi dengan tujuan Otorita Pengembangan Daerah
Industri Pulau Batam apalagi Otorita Batam dalam menjalankan tugasnya langsung
bertanggungjawab kepada Presiden.
Pada
tahun 1990-an Menhut telah mengeluarkan sejumlah keputusan berupa penetapan
kawasan hutan baik hutan lindung maupun hutan wisata, dalam pertimbangan
hukumnya sama sekali tidak mempertimbangkan dasar hukum pembentukan Pulau Batam
sebagai Daerah Industri Pulau Batam yang lahir berdasarkan Keputusan Presiden
No. 41 Tahun 1973. Oleh karena hal semacam inilah benih ketidakpastian hukum
yang akan terjadi menjadi beban dan keresahan semua pihak, semestinya kebijakan
Menteri selalu mengedepankan dasar legalitas sebuah kebijakan, agar tidak
terjadi persinggungan antar kebijakan satu sama lain.
Menhut
mempunyai kewenangan dalam jabatannya secara umum, namun terhadap kawasan
dengan kebijakan khusus lex specialis akan mengesampingkan kebijakan umum.
Seyogyanya terhadap kebijakan di daerah FTZ terlebih dahulu berkoordinasi
dengan badan pengusahaan kawasan agar putusannya berjalan sesuai dengan situasi
dan kondisi yang ada di daerah atas dasar Tata Ruang Dan Wilayah yang telah
ditetapkan.
Untuk
menunjukkan kemandirian hukum disegani dalam pergaulan internasional maka harus
serius dalam penyiapan infrastruktur dan mempunyai program ahli teknologi untuk
kelangsungan industrialisasi. Apabila industrialisasi hanya berbasis assembling
(pemasang/ perakit) ataupun berupa jasa penunjang terhadap suatu produk,
perusahaan sejenis ini sangat rentan kelangsungannya. Industri idaman adalah
industri berbasis dari hulu hingga hilir, hal semacam ini sangat dirasakan oleh
stakeholder di Batam terhadap industrialisasi yang berskala besar/ multi nasional
dirasakan tidak punya daya tarik karena tidak tersedianya industri-industri
penunjang yang memperlancar/ mensupply kebutuhan industri besar.
Persoalan
semaccam ini tidak mudah untuk mengatasinya melainkan politik ini di suatu
rancangan besar penataan industrialisasi berkesinambungan, Kini persoalan yang
mendesak untuk segera diluruskan adalah Keputusan Menhut Nomor 463 ini,
diharapkan adanya upaya-upaya yang harus dilakukan, antara lain:
1.
Diharapkan Menhut atas prakarsa sendiri merevisi keputusan
tersebut demi kenyamanan semua pihak, terutama pengusaha dan masyarakat Batam,
tentu saja perubahan tersebut tidak membuat keputusan yang bertentangan dengan
peraturan yang berlaku di negeri ini.
2.
Pengaduan kepada kepala negara agar di dalam sidang kabinet
bidang ekonomi pembangunan segera memutuskan kebijakan Menhut ini diharapkan
segera ditindaklanjuti dalam kurun waktu tertentu bila tidak terakomodir
terpaksa melalui upaya verbal. Persoalan ini semestinya dapat segera mendapat
respon seketika oleh Presiden, karena sebagai atasan dapat segera mendapatkan
kejelasan kenapa hal demikian bisa terjadi.
Sejauh putusan bawahannya sudah betul dan konstitusional
maka kukuhkanlah putusan yang sudah ada dan menyampaikan kepada masyarakat di
kota Batam. ketiga; Keputusan Menhut merupakan Keputusan Pejabat Tata Usaha
Negara maka atas keputusan Pejabat Tata Usaha Negara ini dapat dianulir untuk
mengujinya secara yuridis, hal ini merupakan salah satu pilihan upaya hukum
dengan konsekuensi terjelek waktu penyelesaian tarik panjang (proses
persidangan) dan akibatnya tentu masyarakat Batam yang dirugikan karena semua
pihak wait and see.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Reformasi di segala bidang yang di
dukung oleh masyarakat dalam mensikapi permasalahan yang terjadi, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah menyebabkan lahirnya otonomi daerah
sebagai salah satu tuntutan reformasi Indonesia memasuki Era Otonomi daerah
dengan diterapkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 (yang kemudian diganti
menjadi UU No. 32 Tahun 2004) tentang “Pemerintahan Daerah) dan Undang-undang
No. 25 Tahun 1999 (yang kemudian diganti menjadi UU No. 33 Tahun 2004) tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dalam UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan
bahwa otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti
daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di
luar urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut.
Selain itu juga dilaksanakan pula dengan prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
Prinsip otonomi nyata adalah suatu
prinsip yang menegaskan bahwa urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan
tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun
yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannnya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai bagian utama dari tujuan nasional.
Penyelenggaraan otonomi daerah
harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan
selalu memerhatikan kepentingan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam
masyarakat. Untuk itu, otonomi daerah diharapkan dapat
1.
Menciptakan efisinesi
dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah
2.
Meningkatkan kualitas
pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
3.
Membudayakan dan
menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisifasi dalam proses
pembangunan.
Dalam otonomi daerah, pimpinan
daerah memegang peran sangat srategis dalam mengelola dan memajukan daerah yang
dipimpinnya. Perencanaan strategis sangat vital, karena disanalah akan terlihat
dengan jelas peran kepala daerah dalam mengoordinasikan semua unit kerjanya.
Betapapun besarnya potensi suatu daerah, tidak akan optimal pemanfaatannya bila
walikota tidak mengetahui bagaimana mengelolanya. Sebaliknya, meskipun potensi
suatu daerah kurang, tetapi dengan strategis yang tepat untuk memanfaatkan
bantuan dari pusat dalam memberdayakan daerahnya, maka akan semakin
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang ada. Sebagaimana dijelaskan
dalam pasal 156 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah adalah pemegang
kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Untuk itulah, perlu kecakapan yang
tinggi bagi pimpinan daerah agar pengelolaan dan terutama alokasi dari keuangan
daerah dilakukan secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan
pembangunan daerah
Otonomi daerah harus diikuti dengan
serangkaian reformasi sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tersebut
tidak sekadar perubahan format lembaga, akan tetapi menyangkut pembaruan
alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik
tersebut secara ekonomis, efisien, efektif transparan, dan akuntabel sesuai
dengan cita-cita reformasi yaitu menciptakan good governace benar-benar
tercapai.
Pengelolaan keuangan daerah harus
Transparansi yang mulai dari proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan
anggaran daerah. Selain itu, Akuntabilitas dalam pertanggungjawaban publik juga
diperlukan, dalam arti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan,
penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan
dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Kemudian, Value for money
yang berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses pelanggaran yaitu ekonomi,
efisiensi dan efektifitas
Dengan adanya penerapan
prinsip-prinsip tersebut, maka akan menghasilkan pengelolaan keuangan daerah
(yang tertuang dalam APBD) yang benar-benar mencerminkan kepentingan dan
pengharapan masyarakat daerah setempat secara ekonomis, efisien, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab. Sehingga nantinya akan melahirkan kemajuan
daerah dan kesejahteraan masyarakat.
B.
Upaya
Mensinergikan Peranan BP Batam dengan Pemerintah Kota Batam
Dengan
mempelajari beberapa permasalahan yang timbul akibat adanya dualisme
pemerintahan di Kota Batam, maka Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen
Dalam Negeri perlu segera membuat rencana untuk mensinergikan peranan Otorita
Batam dengan Pemko Batam. Masing-masing pihak perlu menyamakan misi bahwa
peranan utama lembaga pemerintahan adalah untuk melayani kepentingan
masyarakatnya. Dengan demikian, apapun peranan yang menjadi wewenang
masing-masing pihak harus berorientasi untuk mempermudah dan memperlancar kepentingan
publik.
Sebagai
lembaga yang berpengalaman selama ± 35 tahun dalam mengelola kota, Otorita
Batam seharusnya mempertimbangkan fakta atas kewenangan otonomi yang dimiliki
oleh Pemko Batam, sehingga dengan kesadaran penuh Otorita hanya mengambil peran
yang benar-benar spesifik yang belum mampu ditangani oleh Pemko Batam.
Dan
untuk mewujudkan kepastian hukum di Kota Batam, kami menyarankan kepada BP
Batam untuk sadar diri dan sadar posisi, dan kami memberikan 2 opsi kepada BP
Batam, yaitu :
1. Melompat
dengan indah, atau
2. Dilompatkan
dengan indah
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Zainal
Asikin, S.H.,S.U. Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2012
Suhendro, SH., Mhum, Hukum Investasi di Daerah Otonomi,
Yogyakarta, Gita Nagari, 2005.
Astari Yanuarti, Pasar (Setengah) Bebas Batam, Jakarta,
Gatra, 2007
http://www.kimpraswil.go.id/, Batam Sejak1968 Hingga Era Otonomi
Derah, Sebuah Pengantar untuk Melihat Tantangan yang Dihadapi
http://www.dpr.go.id/artikel/terkini/, Komisi VI DPR Desak Menteri Perdagangan
Susun Policies Design Pengembangan Batam, 27 Februari 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar